Senin, 21 Mei 2018

tugas htn



TUGAS ANALISIS
“ GENDER SENSITIVE IN LABOUR”
KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DI INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi  Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara

Description: logo-300x292.png



Disusun Oleh :

NAMA  : SATRIA GINDA IRAWAN
NPM : 17100144
Selamat malam para shobat bloger, kali ini saya kan membagikan materi tugas kata kuliah HUKUM TATA NEGARA , ” GENDER-SENSITIVE IN LABOUR”
Sehingga dalam tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk menambah pengetahuan kita semua.
“ KETIDAK ADILAN GENDER”
Description: gender2-591d1adb179373210dd59ef7.jpgKeadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Permasalahan Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat.
Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam system tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :
– Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik disebabkan     perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.
– Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu.
– Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender
Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:
  1. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan
Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
Contoh-contoh marginalisasi:
  • Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki
  • Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani
  • Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
  • Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.
  1. Subordinasi (penomorduaan)
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
  1. Stereotip (citra buruk)
Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan perpanjangan peran domestiknya.
  1. Violence (kekerasan)
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam  berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalamrumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.
  1. Beban kerja berlebihan
Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah public mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.


Contoh Kasus Gender dan Marginalisasi
Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan Oleh Umar Idris – Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB
Description: kesetaraan-gender.jpg
JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012 ,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan yang memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini, peran perempuan di sektor pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya, benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar karena perempuan dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah kepada mereka?,” tanya Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan. Meski banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit. Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di bidang pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata Tejo. Di sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan. “Selama  perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak akan cepat selesai,” tutur Tejo.
Sumber:http://nasional.kontan.co.id/news/peran-perempuan-di-bidang-pangan-tak-diperhatikan



UNDANG – UNDANG TENTANG GENDER SENSITIVE  IN LABOUR
A.    Unsur Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia 37 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya perkawinan.

Salah satu kebijakan negara adalah dirumuskannya kesetaraan gender dalam bidang hukum. Namun, dalam kenyataannya hukum perkawinan belum memberikan kesetaraan jender, sehingga merugikan perempuan. Tidak jarang kita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti tidak adanya keturunan (anak), ketidak cocokan satu dengan lainnya, perselingkuhan, masalah ekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya, dan lain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu kekerasan satu pihak kepada pihak lain, cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita.



Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa prevalensinasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3, 02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan
Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95% kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263% tersebut di data dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus perceraian perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumahtangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dankurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan.

Di lain pihak, dalam kurun waktu tersebut Pemerintah Indonesia bertransformasi menuju negara yang menjungjung hak asasi manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat dari Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat ketentuan hak asasi manusia. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal darirumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakupketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hakasasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi yaitu:
a). kelompok hak-hak sipil;
b). kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
c). kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan d). tanggungjawabnegara dan asasi manusia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hakasasi manusia, seperti meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women (CEDAW, 1979), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya) dan lain-lain.

B.    Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Sebagai Upaya Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan Hak AsasiManusia

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) adalah rencana aksi yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM diIndonesia. [8]
RANHAM merupakan komitmen negara Republik Indonesia yang bertujuan memperkuat sistem hokum nasional sekaligus dalam rangka penghormatan, pamajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme dan multikulturisme.
RANHAM merupakan produk politik HAM Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi setiap orang yang ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan Negara untuk menjalankan tugas untuk mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasi pada HAM, serta dengan membangun kerja sama yang sinergistik antar lembaga pemerintah dengan masyarakat madani.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014 terdapat 7 (tujuh) Program utama yaitu:

1). pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaRANHAM;
2). persiapan pengesahaninstrumen HAM Internasional;
3). harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturanperundang-undangan;
4). pendidikan HAM;
5). penerapan norma dan standar HAM;
6). pelayanan komunikasi masyarakat; dan
7). pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Salah satu kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 adalah hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang masuk dalam program penerapan norma dan standar HAM. Permasalahan kegiatan ini adalah masih banyaknya perkawinan yang belum dicatatkan pada kantor pencatatan perkawinan yang mengakibatkan istri dananaknya tidak mendapatkan perlindungan hukum. Rencana aksinya adalah: 1).Sosialisasi tentang perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 2).Pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi yang perkawinannya belum dicatatkan; dan3). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

C. MENGAPA INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
 Description: http://www.scn-crest.org/id/images/public/Campaign-CEDAW-Senate-500-300x180.jpg       RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) adalah salah satu RUU yang saat ini sedang dibahas oleh anggota DPR RI. Berdasarkan catatan dari CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) ada 3 alasan
mengapa Indonesia membutuhkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Ketiga alasan berdasarkan analisa dari CWGI dibagi menjadi alasan Filosofis, alasan Yuridis dan alasan Sosiologis.
Alasan Filosofis
Dalam cita-cita Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya HAM wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang.
Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun 2000, UUD 1945 memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM termuat pula dalam Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemeerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Konsepsi HAM ini sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus mengadopsi instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut Konvensi CEDAW, yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi ini mendasarkan pada tiga prinsip atau asas yaitu: (a) Persamaan substantive; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan substantive menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas.
Alasan Yuridis
Instrumen hukum Indonesia yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.      UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik Perempuan (Convention of Women’s Political Rights)
3.      UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)
4.      UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.      UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, social and Cultural Rights)
6.      UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights)
Hingga saat ini belum ada sebuah undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang perlindungan hak-hak perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan pelanggaran hak asasi; dan pelaksanaan penikmatan hak asasi perempuan termasuk akses, kesempatan, proses, control dan penikmatan manfaat, guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, mengakui, menghargai, memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan tanpa diskriminasi.
Alasan Sosiologis
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia, berbagai studi menunjukkan, persamaan dan keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan (termasuk anak perempuan) belum tercapai, terutama disebabkan masih sangat kuatnya budaya patriarki dan perspektif laki-laki dalam mempengaruhi pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pengambilan kebijakan.
Perwujudan keadilan dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemenuhan hak asasi perempuan, hanya dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi sosial gender, pengalaman ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan, dan kepentingan perempuan terintergrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya terkait relasi gender menunjukan bahwa perdebaan jenis kelamin (biologis) diinterpretasi secara sosial melalui mitos, sosialisasi, budaya, kebidajakan pemerintah, dan hukum serta praktik yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil bagi perempuan, yang antara lain dapat dilihat dari: stereotip atau pelabelan negative, subordinasi, peminggiran atau marjinalisasi, beban majelmuk, dan kekerasan berbasis gender.
Keadilan gender merefleksikan budaya patriarki yang menempatkan kedudukan tyertinggi pada laki=-lakim, yang masih kuat di masyarakat, dan dilanggengkan melalui nilai-nilai, praktik budaya, system sosial, dan bentuk lainnya seperti penafsiran agama yang bias gender, terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup anggota masyarakat. Disinilah negara sebagai actor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) pemenuhan hak asasi perempuan, penting untuk merumuskan hukum dan kebijakan yang memastikan pelaksanaan pemenuhan hak asasi perempuan.
[1]

Bermula dari definisi gender secara etimologi dan terminologi dari beberapa pendapat pakarnya, agar lebih mudah dipahami bagaimana selama ini masyarakat membuat definisi mengenai laki-laki dan perempuan akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :
Jenis kategori
Laki - laki
Perempuan
Sifat

Maskulin Contoh : kuat, gagah, melindungi, berwibawa, tegar, tidak boleh menangis, keras, rasional, dll.
Feminim Contoh : lemah lembut, ringkih, penyayang suka menangis/cengeng, emosional, dll.
Ranah aktivitas/domain
Public
Domestic
Pekerjaan
produktif           
Reproduktif
Penghargaan terhadap kerja
Mendapatkan upah
Tidak  mendapat upah/diupah rendah
Contoh pekerjaan
Politisi, Pengacara, hakim, Jaksa, Pemuka agama, Birokrat, Dokter, dll.
Perawat, bidan, guru (TK) pramugari, sekretaris, dll.

SEDANGKAN PRO TERHADAP  KESETARAAN  GENDER  ADALAH   SEBAGAI  BERIKUT  :
Hal ini terbukti dari bunyi pasal 1 ayat 4 draf RUU KKG menyebutkan:’’Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki’’. Awal munculnya ide KKG sebenarnya adalah ide stereotype barat sebagai ekspresi perlawanan atas penindasan perempuan di Eropa. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pembedaan dan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti misalnya para wanita dianggap sama dengan hewan peliharaan, barang yang kapan saja bisa ditukar-tukar dan diperjualbelikan. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa

Untuk menghilangkan penindasan tersebut maka kedudukan perempuan dan laki-laki harus disetarakan dan disamakan. Begitulah penyelesaian mereka untukmengatasi ketidakadilan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sama persis dengan pemahaman keadilan ala Marxist.




Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarkhi dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan adil.Seperti terkutip pada pasal 1 ayat 2 dan 3:

“Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”.

Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan juga dipengaruhi oleh pandangan budaya dan agama yang dianggap patriarkhis. Maka pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek harus dijauhkan dari ketentuan agama itu dan harus diserahkan kepada manusia dengan partisipasi perempuan yang setara dengan laki-laki. Dari hal ini sangat jelas sekali bahwa nilai – nilai dalan RUU KKG ini banyak diambil dari Barat yang memang mengangungkan liberalisme dan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Benar saja, Dokumen Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Beijing Platform For Action(BPFA) dan Millenium Developments Goals (MDGs), disinyalir menjadi menjadi landasan yuridis dan rujukan dari dibuatnya RUU KKG ini. Paradigma, istilah, definisi dan kalimat-kalimatnya banyak menyontek dokumen


[1] CatatanDiambil dari Factsheet Pokok-Pokok Pikiran Usulan Rancangan Undang-Undang Tentang Persamaan dan Keadilan Untuk Perempuan yang diterbitkan oleh CEDAW working Group Indonesia (CWGI) http://www.kalyanamitra.or.id/