TUGAS
ANALISIS
“
GENDER SENSITIVE IN LABOUR”
KESETARAAN
GENDER DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DI INDONESIA
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum
Tata Negara
Disusun
Oleh :
NAMA : SATRIA GINDA IRAWAN
NPM : 17100144
Selamat
malam para shobat bloger, kali ini saya kan membagikan materi tugas kata kuliah
HUKUM TATA NEGARA , ” GENDER-SENSITIVE IN LABOUR”
Sehingga
dalam tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk menambah pengetahuan
kita semua.
“
KETIDAK ADILAN GENDER”
Keadilan gender adalah
suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan.
Permasalahan
Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan
perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara
laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran
kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan
sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum
laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta
kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma
ataupun struktur masyarakat.
Gender
masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat
belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi
dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian
mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi
diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan,
diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan
gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang
mengakibatkan
terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki
dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya
dan lain-lain.
Ketidakadilan
dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik perempuan
maupun laki-laki menjadi korban dalam system tersebut. Berbagai pembedaan peran
dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa
perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan
perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan.
Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang
ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya
menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Ketidakadilan gender
ini dapat bersifat :
–
Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik
disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan
yang berlaku.
–
Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan jenis
kelamin tertentu.
–
Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur
masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.
Bentuk-bentuk
ketidakadilan akibat diskriminasi gender
Bentuk-bentuk
ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:
- Marginalisasi (pemiskinan)
perempuan
Pemiskinan
atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelaminnya
adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat terjadi di
rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan
(teknologi).
Contoh-contoh
marginalisasi:
- Pemupukan dan pengendalian hama
dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki
- Pemotongan padi dengan
peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan
keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen
ani-ani
- Peluang menjadi pembantu rumah tangga
lebih banyak perempuan
- Banyak pekerjaan yang dianggap
sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak” atau
“sekretaris” dan “perawat”.
- Subordinasi (penomorduaan)
Subordinasi
pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu
ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari
pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada nilai-nilai
masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan.
Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain
sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki. Sebagai
contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak
berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang
akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
- Stereotip (citra buruk)
Pelabelan
atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan
diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau
penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan
terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang
berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagi akibatnya
ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya
di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan
perpanjangan peran domestiknya.
- Violence (kekerasan)
Berbagai
kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam
berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap
fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan
tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual,
ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang
mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber
karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di
dalamrumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat.
Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait
dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di atas.
- Beban kerja berlebihan
Sebagai
suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus
dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga
pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa
yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka
yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah public mereka juga masih
harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Contoh Kasus Gender
dan Marginalisasi
Peran
Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan Oleh Umar Idris –
Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB
JAKARTA.
Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012
,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan
pangan yang memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan
kesaksian para LSM ini, peran perempuan di sektor pangan sangat besar.
Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan benih hibrida. Pemerintah
tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan mengurangi peran
perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya, benih
hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani
harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani
perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar karena perempuan
dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani perempuan masih hidup
miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang
berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat
setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal
sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun
sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar dari mereka ialah
perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan
wilayah semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah
kepada mereka?,” tanya Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini
peran perempuan masih terpinggirkan. Meski banyak perempuan menjadi buruh
sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah maupun tidak
berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit Watch,
tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit. Koordinator
Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini
pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam
setiap kebijakan di bidang pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan
kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan
dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata Tejo. Di sisi lain, data BPS
menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap garis kemiskinan.
Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan.
“Selama perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan
dan kemiskinan tidak akan cepat selesai,” tutur Tejo.
Sumber:http://nasional.kontan.co.id/news/peran-perempuan-di-bidang-pangan-tak-diperhatikan
UNDANG – UNDANG TENTANG GENDER SENSITIVE
IN LABOUR
A. Unsur Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia 37 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya perkawinan.
Salah satu kebijakan negara adalah dirumuskannya kesetaraan gender dalam bidang hukum. Namun, dalam kenyataannya hukum perkawinan belum memberikan kesetaraan jender, sehingga merugikan perempuan. Tidak jarang kita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti tidak adanya keturunan (anak), ketidak cocokan satu dengan lainnya, perselingkuhan, masalah ekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya, dan lain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu kekerasan satu pihak kepada pihak lain, cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita.
Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa prevalensinasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3, 02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan
Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95% kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263% tersebut di data dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus perceraian perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumahtangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dankurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan.
Di lain pihak, dalam kurun waktu tersebut Pemerintah Indonesia bertransformasi menuju negara yang menjungjung hak asasi manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat dari Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat ketentuan hak asasi manusia. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal darirumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakupketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hakasasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi yaitu:
a). kelompok hak-hak sipil;
b). kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
c). kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan d). tanggungjawabnegara dan asasi manusia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hakasasi manusia, seperti meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women (CEDAW, 1979), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya) dan lain-lain.
B. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Sebagai Upaya Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan Hak AsasiManusia
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) adalah rencana aksi yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM diIndonesia. [8]
RANHAM merupakan komitmen negara Republik Indonesia yang bertujuan memperkuat sistem hokum nasional sekaligus dalam rangka penghormatan, pamajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme dan multikulturisme.
RANHAM merupakan produk politik HAM Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi setiap orang yang ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan Negara untuk menjalankan tugas untuk mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasi pada HAM, serta dengan membangun kerja sama yang sinergistik antar lembaga pemerintah dengan masyarakat madani.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014 terdapat 7 (tujuh) Program utama yaitu:
1). pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaRANHAM;
2). persiapan pengesahaninstrumen HAM Internasional;
3). harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturanperundang-undangan;
4). pendidikan HAM;
5). penerapan norma dan standar HAM;
6). pelayanan komunikasi masyarakat; dan
7). pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Salah satu kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 adalah hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang masuk dalam program penerapan norma dan standar HAM. Permasalahan kegiatan ini adalah masih banyaknya perkawinan yang belum dicatatkan pada kantor pencatatan perkawinan yang mengakibatkan istri dananaknya tidak mendapatkan perlindungan hukum. Rencana aksinya adalah: 1).Sosialisasi tentang perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 2).Pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi yang perkawinannya belum dicatatkan; dan3). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia 37 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya perkawinan.
Salah satu kebijakan negara adalah dirumuskannya kesetaraan gender dalam bidang hukum. Namun, dalam kenyataannya hukum perkawinan belum memberikan kesetaraan jender, sehingga merugikan perempuan. Tidak jarang kita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti tidak adanya keturunan (anak), ketidak cocokan satu dengan lainnya, perselingkuhan, masalah ekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya, dan lain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu kekerasan satu pihak kepada pihak lain, cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita.
Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa prevalensinasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3, 02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan
Kondisi ini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95% kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263% tersebut di data dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus perceraian perkawinan di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumahtangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dankurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan.
Di lain pihak, dalam kurun waktu tersebut Pemerintah Indonesia bertransformasi menuju negara yang menjungjung hak asasi manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat dari Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat ketentuan hak asasi manusia. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal darirumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakupketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hakasasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi yaitu:
a). kelompok hak-hak sipil;
b). kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
c). kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan d). tanggungjawabnegara dan asasi manusia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hakasasi manusia, seperti meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women (CEDAW, 1979), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya) dan lain-lain.
B. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Sebagai Upaya Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan Hak AsasiManusia
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) adalah rencana aksi yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM diIndonesia. [8]
RANHAM merupakan komitmen negara Republik Indonesia yang bertujuan memperkuat sistem hokum nasional sekaligus dalam rangka penghormatan, pamajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme dan multikulturisme.
RANHAM merupakan produk politik HAM Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi setiap orang yang ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan Negara untuk menjalankan tugas untuk mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasi pada HAM, serta dengan membangun kerja sama yang sinergistik antar lembaga pemerintah dengan masyarakat madani.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014 terdapat 7 (tujuh) Program utama yaitu:
1). pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaRANHAM;
2). persiapan pengesahaninstrumen HAM Internasional;
3). harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturanperundang-undangan;
4). pendidikan HAM;
5). penerapan norma dan standar HAM;
6). pelayanan komunikasi masyarakat; dan
7). pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Salah satu kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 adalah hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang masuk dalam program penerapan norma dan standar HAM. Permasalahan kegiatan ini adalah masih banyaknya perkawinan yang belum dicatatkan pada kantor pencatatan perkawinan yang mengakibatkan istri dananaknya tidak mendapatkan perlindungan hukum. Rencana aksinya adalah: 1).Sosialisasi tentang perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 2).Pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi yang perkawinannya belum dicatatkan; dan3). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C.
MENGAPA INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) adalah salah satu RUU yang
saat ini sedang dibahas oleh anggota DPR RI. Berdasarkan catatan dari CEDAW
Working Group Indonesia (CWGI) ada 3 alasan
mengapa Indonesia
membutuhkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Ketiga alasan
berdasarkan analisa dari CWGI dibagi menjadi alasan Filosofis, alasan Yuridis
dan alasan Sosiologis.
Alasan Filosofis
Dalam cita-cita
Pancasila, manusia, perempuan, dan laki-laki, diciptakan oleh Tuhan yang Maha
Esa, dan bangsa Indonesia mengarahkaan diri pada kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, musyawarah
dan mufakat, serta keberadaban. Oleh karena itu, sebagai negara hukum,
Indonesia telah menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 sebagai
konstitusi Negara. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang
telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya HAM wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang.
Pembukaan UUD 1945
mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan
tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan
perbedaan jenis kelamin. Dengan disahkannya perubahan kedua pada tahun 2000,
UUD 1945 memuat ketentuan dasar mengenai HAM dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai
dengan pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 kententuan HAM
termuat pula dalam Pasal 29 ayat (2) dan pasal 28 I (2). Perempuan dan
laki-laki berhak atas kehidupan dan kemeerdekaan dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Konsepsi HAM ini
sejalan dengan hukum HAM Internasional, yang secara khusus mengadopsi
instrument hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Convention on the
Elimination of All Forms Discrimination Against Women, selanjutnya disebut
Konvensi CEDAW, yang diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan UU No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi ini mendasarkan pada tiga prinsip
atau asas yaitu: (a) Persamaan substantive; (b) Non Diskriminasi; dan (c)
Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantive mengakui adanya perbedaan
situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan
mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya
dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki.
Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai
tindakan diskriminatif di waktu lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan
substantive menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara
(temporary special measures) dan perlindungan maternitas.
Alasan Yuridis
Instrumen hukum
Indonesia yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk perempuan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.
UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Hak-Hak Politik Perempuan (Convention of Women’s Political Rights)
3.
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)
4.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on
Economic, social and Cultural Rights)
6.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political
Rights)
Hingga saat ini belum
ada sebuah undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang perlindungan
hak-hak perempuan dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan
pelanggaran hak asasi; dan pelaksanaan penikmatan hak asasi perempuan termasuk
akses, kesempatan, proses, control dan penikmatan manfaat, guna mewujudkan kehidupan
masyarakat yang demokratis, mengakui, menghargai, memajukan, melindungi dan
memenuhi hak asasi perempuan tanpa diskriminasi.
Alasan Sosiologis
Dalam kenyataan
kehidupan masyarakat Indonesia, berbagai studi menunjukkan, persamaan dan
keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil
pembangunan antara laki-laki dan perempuan (termasuk anak perempuan) belum
tercapai, terutama disebabkan masih sangat kuatnya budaya patriarki dan
perspektif laki-laki dalam mempengaruhi pola pikir, pola perilaku, dan
pengambilan keputusan termasuk pengambilan kebijakan.
Perwujudan keadilan
dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemenuhan hak asasi perempuan, hanya
dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi sosial gender, pengalaman
ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan, dan kepentingan perempuan
terintergrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya
terkait relasi gender menunjukan bahwa perdebaan jenis kelamin (biologis)
diinterpretasi secara sosial melalui mitos, sosialisasi, budaya, kebidajakan
pemerintah, dan hukum serta praktik yang lebih menguntungkan laki-laki,
sekaligus tidak adil bagi perempuan, yang antara lain dapat dilihat dari:
stereotip atau pelabelan negative, subordinasi, peminggiran atau marjinalisasi,
beban majelmuk, dan kekerasan berbasis gender.
Keadilan gender
merefleksikan budaya patriarki yang menempatkan kedudukan tyertinggi pada
laki=-lakim, yang masih kuat di masyarakat, dan dilanggengkan melalui
nilai-nilai, praktik budaya, system sosial, dan bentuk lainnya seperti
penafsiran agama yang bias gender, terinternalisasi dalam pikiran dan praktik
hidup anggota masyarakat. Disinilah negara sebagai actor utama yang memegang
kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) pemenuhan hak asasi perempuan, penting
untuk merumuskan hukum dan kebijakan yang memastikan pelaksanaan pemenuhan hak
asasi perempuan.
Bermula dari definisi gender
secara etimologi dan terminologi dari beberapa pendapat pakarnya, agar lebih
mudah dipahami bagaimana selama ini masyarakat membuat definisi mengenai
laki-laki dan perempuan akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :
|
SEDANGKAN PRO TERHADAP KESETARAAN
GENDER ADALAH SEBAGAI
BERIKUT :
Hal ini terbukti dari
bunyi pasal 1 ayat 4 draf RUU KKG menyebutkan:’’Diskriminasi adalah segala
bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan
antara perempuan dan laki-laki’’. Awal munculnya ide KKG
sebenarnya adalah ide stereotype barat sebagai ekspresi perlawanan atas
penindasan perempuan di Eropa. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pembedaan dan
ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti misalnya para wanita dianggap
sama dengan hewan peliharaan, barang yang kapan saja bisa ditukar-tukar dan
diperjualbelikan. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the
Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap
wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala
kejahatan atau dosa
Untuk menghilangkan
penindasan tersebut maka kedudukan perempuan dan laki-laki harus disetarakan
dan disamakan. Begitulah penyelesaian mereka untukmengatasi ketidakadilan yang
terjadi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sama persis dengan pemahaman
keadilan ala Marxist.
Dalam perspektif
gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarkhi
dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang
perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan
sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki
barulah dianggap benar-benar setara dan adil.Seperti terkutip pada pasal 1 ayat
2 dan 3:
“Kesetaraan Gender
adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk
mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh
manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. Sedangkan “Keadilan Gender
adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan
kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga,
masyarakat dan warga negara”.
Dalam perspektif
gender, penindasan atas perempuan juga dipengaruhi oleh pandangan budaya dan
agama yang dianggap patriarkhis. Maka pengaturan relasi laki-laki dan perempuan
dalam semua aspek harus dijauhkan dari ketentuan agama itu dan harus diserahkan
kepada manusia dengan partisipasi perempuan yang setara dengan laki-laki. Dari
hal ini sangat jelas sekali bahwa nilai – nilai dalan RUU KKG ini banyak
diambil dari Barat yang memang mengangungkan liberalisme dan sekulerisme
(pemisahan agama dari kehidupan).
Benar saja,
Dokumen Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW), Beijing Platform For Action(BPFA) dan Millenium
Developments Goals (MDGs), disinyalir menjadi menjadi landasan
yuridis dan rujukan dari dibuatnya RUU KKG ini. Paradigma, istilah, definisi
dan kalimat-kalimatnya banyak menyontek dokumen
[1]
Catatan: Diambil dari Factsheet Pokok-Pokok
Pikiran Usulan Rancangan Undang-Undang Tentang Persamaan dan Keadilan Untuk
Perempuan yang diterbitkan oleh CEDAW working Group Indonesia (CWGI) http://www.kalyanamitra.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar